pasaRpetani.com – Guanteng! Tepatnya ketika Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Kapolri Tito Karnavian berserta Satgas Pangan dengan kompak berpakaian batik membeberkan penyimpangan triliunan Rupiah yang dilakukan oleh PT. Indo Beras Unggul (21/7).
PT. IBU merupakan perusahan yang memproduksi beras premium dengan merek Cap Ayam Jago dan Maknyuss. Perusahaan yang diduga mengoplos beras rakyat sejahtera (rastra) yang berharga Rp. 6rb/kg dan kemudian dijual diatas Harga acuan pemerintah Rp. 9rb/kg, hal ini tidak sesuai dengan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017.
Dipasaran harga beras Ayam Jago diecer Rp. 20.400 kg dan beras Maknyuss Rp. 13.700/kg. Harga tersebut yang dipermasalahkan oleh pemerintah, karena dinilai terlalu mahal diatas harga acuan.
Namun belakangan Mensos membantah beras PT. IBU tersebut bukan beras rastra, “Saya sudah tanya ke direksi Bulog, itu bukan rastra,” tegas Khofifah seperti dilansirAntara, Minggu 23 Juli 2017. (Mensos Pastikan Beras PT. IBU Bukan Rastra)
Dari pihak PT. IBU pun tidak kalah membantah tuduhan dari para pejabat ganteng tersebut. Juru bicara PT. IBU Jo Tjong Seng menjelaskan bahwa PT. IBU tidak melakukan pelanggaran yang dituduhkan.
Menurutnya standar mutu produk PT. IBU sudah sesuai SNI, dimana beras medium atau premiun ditentukan oleh paramater fisik, bukan dari varietasnya.
Jenis padi IR64 bisa menjadi beras mediun dan juga bisa menjadi beras premium, tergantung dari kualitasnya, dan SNI mengatur parameter fisik tersebut. Dengan mutu bagus, beras bisa dijual lebih tinggi seperti yang dilakukan PT. IBU.
Jo Tjong Seng juga mengungkapkan bahwa tidak benar bahwa PT. IBU memonopoli pasar. Pasalnya kapasitas produksi PT. IBU hanya 0.1% dibandingkan konsumsi beras nasional. Kapasitas produksi PT. IBU hanya 4000 ton/bulan, tidak seperti yang dituduhkan hingga 1juta ton sehingga mengakibatkan kerugian negara triliunan.
Sejak kasus mencuat hingga sekarang (23/7), iklan beras Makyuss masih tayang di televisi. Dalam kasus ini, pemerintah seolah olah ingin menunjukkan sikap melindungi petani dan konsumen dengan menetapkan harga acuan ditingkat petani dan konsumen, harapannya petani mandapat keuntungan yang layak dan harga terjangkau ditingkat konsumen.
Namun demikian, inovasi produk seperti PT. IBU juga perlu diapresiasi, bukan dimatikan dengan pemberitaan seperti tersangka teroris. Buktinya, kualitas premium bisa diterima oleh konsumen meskipun dengan harga tinggi.Hal ini bisa menjadi pembelajaran bersama, bahwa produk pangan seperti beras bisa memiliki nilai tambah dan meningkatkan pendapatan petani jika dimanfaatkan dengan baik. Selama ini pengembangan beras semata-mata hanya urusan perut politik dan bukan bisnis. Jadi tidak heran setiap tahun perlu subsidi dan subisidi.
Beras mahal yang masih dibeli konsumen diantara beras murah menunjukkan bahwa konsumen bisa memilih mana beras bermutu dan tidak. Artinya kalau tidak bermutu kenapa tidak memilih yang murah?
Added value produk melalui pengolahan beras premium yang digunakan oleh PT. IBU sangat penting ditengah gempuran produk-produk impor, termasuk teknis pemasaran melalui media televisi tentu juga perlu diapresiasi, karena dapat meningkatkan nilai produk pertanian dan menguntungkan petani. Tinggal bagaimana mendistribusikan keuntungan petani, perusahaan dan konsumen secara adil. Mungkin itu yang perlu dibenahi.